Selasa, Februari 09, 2010

a confession : )



Tiit! Tiiiit!
Speak of the devil.

No, it's not Taylor Lautner yang menelepon, tapi Beno.
'Kamu lagi dimana sih, Lex, dari tadi aku telepon gak diangkat?'
'Aku lagi dikantor klien'
'Sendirian?'
'Ya nggak lah, Ben, sama asistenku dikantor.'

'Kamu mau nikah sama Denny, ya?'

Aku terkesiap. Terduduk. Suaranya tenang, tapi di telingaku ibarat es yang tiba-tiba disiramkan ke sekujur tubuhku.

Where the hell did this question come from?

Tapi aku berusaha mengontrol kekagetanku dengan cepat.

'Nggak penting deh, Ben, kita ngomongin itu.'
'Aku kan cuma nanya, Lex, kok kamu jadi jutek gitu sih?'
'Kok kamu nuduh aku jadi jutek?' aku mulai sebal.
'Karena, Alexandra, aku cuma nanya tapi malah kamu jawab gak penting,' suaranya tetap tenang. Yang malah membuatku semakun kesal. Sok cool banget sih nih orang.
'Memang nggak penting untuk diomongin, kan?' Aku mau nikah sama Denny atau nggak, itu bukan urusan kamu deh!' dalihku.
'Ia menghela napas. 'Ya udah deh, terserah kamu aja. Memang nggak penting kita berantem masalah ini.'

Klik!

Dulu aku pernah menyesal jatuh cinta sama Beno. Mengutuk diriku sendiri karena jatuh cinta pada laki-laki arogan, sombong, dan egois itu. Tapi sekarang aku takut menikahi Denny untuk tersadar bahwa laki-laki arogan bangsat kurang ajar yang aku benci adalah laki-laki yang tidak pernah berhenti aku cintai.


... 

Tidak ada komentar: